Kamis, 04 Maret 2010

  1. Intensitas dan Kompleksitas Masalah

SEJAK awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program

pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan. PADA umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan

ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi.

Penyebab kegagalan

Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring

pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan. Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.

Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).

Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.

Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.

Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.

B. Latar Belakang Masalah

Semenjak gejolak dan kerusuhan sosial merebak di berbagai daerah, kesenjangan sosial banyak dibicarakan. Beberapa pakar dan pengamat masalah sosial menduga bahwa kerusuhan sosial berkaitan dengan kesenjangan sosial. Ada yang sependapat dengan dugaan itu, tetapi ada yang belum yakin bahwa penyebab kerusuhan sosial adalah kesenjangan sosial. Tidak seperti kesenjangan ekonomi, kesenjangan sosial cukup sulit diukur secara kuantitatif. Jadi, sulit menunjukkan bukti-bukti secara akurat. Namun, tidaklah berarti kesenjangan sosial dapat begitu saja diabaikan dan dianggap tidak eksis dalam perjalanan pembangunan selama ini. Di bagian ini dicoba menunjukkan realitas dan proses merebaknya gejala kesenjangan sosial.

Untuk mempermudah pembahasan, kesenjangan sosial diartikan sebagai kesenjangan (ketimpangan) atau ketidaksamaan akses untuk mendapatkan atau memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Sumber daya bisa berupa kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, peluang berusaha dan kerja, dapat berupa kebutuhan sekunder, seperti sarana pengembangan usaha, sarana perjuangan hak azasi, sarana saluran politik, pemenuhan pengembangan karir, dan lain-lain.

Menurut Oscar Lewis (1983), orang-orang miskin adalah kelompok yang mempunyai budaya kemiskinan sendiri yang mencakup karakteristik psikologis sosial, dan ekonomi. Kaum liberal memandang bahwa manusia sebagai makhluk yang baik tetapi sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Budaya kemiskinan hanyalah semacam realistic and situational adaptation pada linkungan yang penuh diskriminasi dan peluang yang sempit. Kaum radikal mengabaikan budaya kemiskinan, mereka menekankan peranan struktur ekonomi, politik dan sosial, dan memandang bahwa manusia adalah makhluk yang kooperatif, produktif dan kreatif.

Menurut Philips dan Legates (1981), mengemukakan empat pandangan tentang kemiskinan, yaitu Pertama, kemiskinan dilihat sebagai akibat dari kegagalan personal dan sikap tertentu khususnya ciri-ciri sosial psikologis individu dari si miskin yang cendrung menghambat untuk melakukan perbaikan nasibnya. Akibatnya, si miskin tidak melakukan rencana ke depan, menabung dan mengejar tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Kedua, kemiskinan dipandang sebagai akibat dari sub budaya tertentu yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kaum miskin adalah kelompok masyarakat yang memiliki subkultur tertentu yang berbeda dari golongan yang tidak miskin, seperti memiliki sikap fatalis, tidak mampu melakukan pengendalian diri, berorientasi pada masa sekarang, tidak mampu menunda kenikmatan atau melakukan rencana bagi masa mendatang, kurang memiliki kesadaran kelas, atau gagal dalam melihat faktor-faktor ekonomi seperti kesempatan yang dapat mengubah nasibnya. Ketiga, kemiskinan dipandang sebagai akibat kurangnya kesempatan, kaum miskin selalu kekurangan dalam bidang keterampilan dan pendidikan untuk memperoleh pekerjaan dalam masyarakat. Keempat, bahwa kemiskinan merupakan suatu ciri struktural dari kapitalisme, bahwa dalam masyarakat kapitalis segelintir orang menjadi miskin karena yang lain menjadi kaya. Jika dikaitkan dengan pandangan konservatisme, liberalisme dan radikalisme, maka poin pertama dan kedua tersebut mencerminkan pandangan konservatif, yang cendrung mempersalahkan kemiskinan bersumber dari dalam diri si miskin itu sendiri. Ketiga lebih mencerminkan aliran liberalisme, yang cendrung menyalahkan ketidakmapuan struktur kelembagaan yang ada. Keempat dipengaruhi oleh pandangan radikalis yang mempersalahkan hakekat atau prilaku negara kapitalis.

Menurut Flanagan (1994), ada dua pandangan yang berbeda tentang kemiskinan, yaitu culturalist dan structuralist. Kulturalis cendrung menyalahkan kaum miskin, meskipun kesempatan ada mereka gagal memanfaatkannya, karena terjebak dalam budaya kemiskinan. Strukturalis beranggapan bahwa sumber kemiskinan tidak terdapat pada diri orang miskin, tetapi adalah sebagai akibat dari perubahan priodik dalam bidang sosial dan ekonomi seperti kehilangan pekerjaan, rendahnya tingkat upah, diskriminasi dan sebagainya. Implikasi dari dua pandangan ini juga berbeda, terhadap konsep kulturalis perlu dilakukan perubahan aspek kultural misalnya pengubahan kebiasaan hidup. Hal ini akan sulit dan memakan waktu lama, dan biaya yang tidak sedikit. Terhadap konsep kulturalis perlu dilakukan pengubahan struktur kelembagaan seperti kelembagaan ekonomi, sosial dan kelembagaan lain yang terkait.

I. Pengertian Kemiskinan

Memahamai substansi kemiskinan merupakan langkah penting bagi perencana program dalam mengatasi kemiskinan. Menurut Sutrisno (1993), ada dua sudut pandang dalam memahami substansi kemiskinan di Indonesia. Pertama adalah kelompok pakar dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengikuti pikiran kelompok agrarian populism, bahwa kemiskinan itu hakekatnya, adalah masalah campur tangan yang terlalu luas dari negara dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat pedesaan. Dalam pandangan ini, orang miskin mampu membangun diri mereka sendiri apabila pemerintah memberi kebebasan bagi kelompok itu untuk mengatur diri mereka sendiri. Kedua, kelompok para pejabat, yang melihat inti dari masalah kemiskinan sebagai masalah budaya. Orang menjadi miskin karena tidak memiliki etos kerja yang tinggi, tidak meiliki jiwa wiraswasta, dan pendidikannya rendah. Disamping itu, kemiskinan juga terkait dengan kualitas sumberdaya manusia. Berbagai sudut pandang tentang kemiskinan di Indonesia dalam memahami kemiskinan pada dasarnya merupakan upaya orang luar untuk memahami tentang kemiskinan. Hingga saat ini belum ada yang mengkaji masalah kemiskinan dari sudut pandang kelompok miskin itu sendiri.

Pengertian kemiskinan disampaikan oleh beberapa ahli atau lembaga, diantaranya adalah BAPPENAS (1993) mendefisnisikan keimiskinan sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena kehendak oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Levitan (1980) mengemukakan kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Faturchman dan Marcelinus Molo (1994) mendefenisikan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dan atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Dengan beberapa pengertian tersebut dapat diambil satu pengertian bahwa kemiskinan adalah suatu situasi baik yang merupakan proses maupun akibat dari adanya ketidakmampuan individu berinteraksi dengan lingkungannya untuk kebutuhan hidupnya.

II. Secara umum kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian, yaitu :

  1. Kemiskinan Absolute, apabila seseorang itu hasil pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan, tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup minimum : pangan, sandang, kesehatan, papan, dan pendidikan.
  2. Kemiskinan Relatif, apabila seseorang itu telah hidup di garis kemiskinan namun masih berada dibawah kemampuan masyarakat disekitarnya.
  3. Kemiskinan Cultural, berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantu.

III. Pada dasarnya penyebab utama kemiskinan di Indonesia dari aspek sosial dan keruanganan adalah:

(1) pengaruh faktor pendidikan yang rendah;

(2) ketimpangan kepemilikan lahan dan modal pertanian;

(3) ketidakmerataan investasi di sektor industri dan pertanian;

(4) alokasi anggaran kredit yang terbatas;

(5) terbatasnya kemampuan dalam pengelolaan sumberdaya alam;

(6) arus urbanisasi tinggi (mendorong orang desa ke kota);

(7) pengelolahan ekonomi yang masih menggunakan cara tradisional;

(8) rendahnya produktifitas dan pertumbuhan modal;

(9) tata pemerintahan yang buruk (bad governance) yang umumnya masih berkembang di kalangan masyarakat desa;

(11) tidak ada jaminan sosial untuk bertahan hidup dan untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat; dan

(12) rendahnya jaminan kesehatan. Dalam pendekatan-pendekatan geografis, dapat menggunakan pendekatan ekologi (ekosistem) dalam penanggulangan kemiskinan. Sebenarnya kemiskinann dalam suatu wilayah dapat diletakkan berdasarkan klasifikasi tipe ekologi (Bintarto, Surastopo; 1983:19 ).

  1. Penanganan Masalah Berbasis Masyarakat

I. Mengembangkan Sistem Sosial Yang Responsif

Berikut adalah beberapa evaluasi implementasi beberapa program kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan :

1. Program JPS dan OPK

Program JPS (jaring Pengaman Sosial) adalah salah satu program penanggulangan kemiskinan yang digulirkan pemerintah pada masa krisis ekonomi. Diantaranya ditujukan untuk bidang pendidikan dan kesehatan, yang diikuti dengan program lainnya, baik dari LSM lokal maupun dari lembaga keuangan internasional. Beberapa diantaranya masih berlangsung sampai sekarang, walaupun telah beberapa kali mengalami perubahan nama dan pergantian orientasi.

2. Program BLT (Bantuan Langsung Tunai) / SLT (Subsidi Langsung Tunai)

Program Subsidi Langsung Tunai (SLT) merupakan program pemerintah yang bertujuan sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM sejak tahun 2005 lalu. BLT/SLT ini disalurkan secara langsung dan tunai melalui cabang-cabang PT Pos Indonesia, dengan alokasi anggaran untuk setiap rumah tangga miskin mendapatkan jatah Rp 100.000,00 per bulan dan dibayarkan setiap tiga bulan sekali.

3. Program P4K (Pembinaan Pendapatan Petani Nelayan Kecil)

Program P4K ini merupakan program hasil kerjasama Departemen Pertanian dengan BRI yang dimulai sejak tahun 1979-2005. Indikator keberhasilan yang digunakan adalah tumbuh dan berkembangnya KPK (Kelompok Petani-nelayan Kecil), dimana mereka diupayakan untuk menjadi kelompok mandiri yang ditandai dengan pengurus dan anggota yang aktif, dana bersama yang terus berkembang, dan terintegrasikannya program P4K ke dalam program pembangunan daerah. Namun demikian, dari berbagai literatur dan hasil penelitian, tidak ditemukan adanya pedoman mengenai bagaimana indikator-indikator keberhasilan tersebut bisa tercapai dan bagaimana strategi pengakhiran programnya.

4. PPK dan P2KP

PPK (Program Pengembangan Kecamatan) dan P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan) adalah program penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat yang merupakan kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia , dan diluncurkan dalam kurun waktu 1998-1999 dengan tujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan sarana perkotaan (P2KP) dan pedesaan (PPK).

5. PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri

PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan, dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan.

II. Pemanfaatan Modal Sosial

Sebagai modal dasar mencapai keadilan sosial, maka lembaga-lembaga filantropi harus memiliki citra dan positioning yang tepat dan dapat dipertangungjwabkan kredibilitasnya. Untuk itu diperlukan beberapa langkah sebagai berikut:

Pertama, perlunya membangun community Awareness melalui berbagai media komunikasi dengan memberikan beberapa contoh best practice filantropy yang telah mengubah kehidupan seseorang atau kelompok masyarakat dari kondisi yang memprihatinkan kearah yang hidup lebih baik. Kedua, membangun citra lembaga melalui peningkatan sumber daya manusia dan pengelolaan dana yang dapat dipertanggunjawaban, transparan dan accountable serta dana filantropi berdaya guna bagi penerima manfaat (beneficiaries). Ketiga, membangun Konsistensi sebagai lembaga yang indenpenden, objektif dan netralitas serta profesional dalam menjalankan program-programnya.

III. Pemanfaatan Institusi Sosial

  1. Organisasi Masyarakat

Di Indonesia trend pembangunan partisipatif yang berdampak positif terhadap masyarakat mulai banyak digunakan pada tahun 1994, dimana banyak program atau proyek pemberdayaan masyarakat diluncurkan masing-masing sektor, seperti: IDT, PKT, P3DT, P4K, dan lain-lain. Ada beberapa sebab yang menyebabkan kondisi tersebut terjadi, yang diantaranya meliputi:

a) setiap program penanggulangan kemiskinan memiliki mekanisme perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan sendiri-sendiri,

b) setiap lembaga donor memiliki nama program sendiri-sendiri dengan model pendekatan yang juga berbeda,

c) setiap Departemen/LPND memiliki nama program sendiri-sendiri dengan model pendekatan yang juga berbeda. Kondisi ini menibulkan ketidakefisienan dan ketidakefektifnya program-program pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan. Sebagai contoh: pada Tahun 2005, 42 program penanggulangan Kemiskinan dilaksanakan oleh 17 lembaga pemerintah, baik departemen maupun non departemen. Hal ini yang dicoba untuk harmonisasikan dan dintegrasikan dalam satu wadah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

  1. Organisasi Swasta

1. Program penyelamatan
Program penyelamatan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah seperti JPS (di bidang pendidikan, pangan, kesehatan dan sosial) tetap diperlukan untuk mengatasi kemiskinan pada tahap awal,tetapi hal itu hanya bersifat temporer.

2. Program penciptaan lapangan kerja
Usaha penciptaan lapangan kerja di segala bidang yang dapat membantu masyarakat keluar dari kemiskinan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga perusahaan swasta, organisasi sosial (LSM) dan masyarakat sendiri. Perusahaan misalnya, melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) melakukan mitra usaha dengan pengusaha kecil sehingga dapat berkembang dan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat.

3. Program pemberdayaan
Program pemberdayaan dalam jangka pendek untuk mengatasi krisis, pembangunan prasarana, penanggulangan kemiskinan di perkotaan, program kemandirian ekonomi rakyat, program kredit usaha keluarga sejahtera, dan sebagainya yang selama ini dilakukan pemerintah harus tetap dilanjutkan untuk menanggulangi kemiskinan.
Pemberdayaan harus meliputi semua aspek kehidupan masyarakat (ekonomi, sosial, budaya dan politik), karena persoalan kemiskinan adalah persoalan multidimensional.
Pemberdayaan yang dimaksud bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhannya tanpa menghambat pemenuhan kebutuhan generasi masa depan, di dalam konteks sosial-budaya, di antara keluarga bangsa dan bangsa-bangsa yang bermartabat, sehingga dapat terlepas dari empat dimensi kemiskinan.

  1. Optimalisasi Kontribusi Dalam Pelayanan Sosial

Optimisme pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) adalah optimisme membangun kembali perekonomian bangsa yang lebih kokoh. Praktis, pascakrisis ekonomi yang melanda negeri ini di tahun 1997, ketika korporasi-korporasi nasional mengalami masalah keuangan yang sangat akut, maka tidak ada lagi kekuatan besar yang menjadi penggerak perekonomian nasional. Hanya UMKM yang kemudian muncul sebagai sebuah kekuatan baru yang menopang perekonomian Indonesia.

Dalam program ini, UMKM dapat melakukan pinjaman dengan jaminan yang ditanggung oleh pemerintah. Untuk bisa menyalurkannya kepada usaha mikro, pemerintah kemudian membuat sebuah jaringan dengan sistem yang efektif dan efisien. Maka, pemerintah menunjuk enam bank pemerintah (BNI, BTN, BRI, Bank Mandiri, BSM, dan Bank Bukopin) sebagai pelaksana KUR untuk disalurkan kepada usaha mikro melalui Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang tergabung. Kendala KUR.

Selanjutnya adalah bagaimana mempertahankan efektivitas KUR sebagai pembiayaan bagi UMKM. Setidaknya terdapat tiga hal yang harus dipertahankan oleh KUR. Pertama, cost of capital yang rendah.

Cost of capital secara sederhana dapat diartikan sebagai biaya yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk mendapatkan modal. Biaya ini secara langsung meliputi beban bunga, biaya yang dikeluarkan untuk mengurus administrasi, dan biaya-biaya lain yang terkait dengan mendapatkan modal.

Dalam mendapatkan KUR misalnya, pemerintah mematok suku bunga tertinggi dengan rate 16% efektif per tahun. Secara konsep, peminjam KUR juga tidak dimintai jaminan untuk mendapatkan kredit ini. Kedua, aksesibilitas KUR oleh pengelola UMKM. Dengan adanya linkage program, seharusnya permasalahan seperti ini sudah dapat diatasi. Bank-bank sebagai pelaksana tidak harus terjun langsung menangani pembiayaan yang kecil. Bank-bank tersebut selanjutnya dapat mendelegasikan kepada LKM-LKM (Lembaga Kredit Mikro) di bawahnya untuk dapat menyalurkan KUR ini secara efektif.

Ketiga, program pendampingan. Sektor UMKM kebanyakan didominasi oleh kalangan dengan pendidikan yang tidak terlalu tinggi. Maka, di sinilah tantangannya. Pemerintah, dengan otoritasnya seharusnya dapat menggandeng LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang berfungsi sebagai pendamping bagi pengembangan UMKM melalui KUR tersebut.

  1. Kerjasama dan Jaringan

Permasalahan kemiskinan dengan berbagai karakteristiknya ini tidak mudah dipecahkan tanpa adanya keterlibatan semua unsur. Karena, kunci utama dari upaya penanggulangan kemiskinan di daerah adalah terbangunnya, serta melembaganya jaringan komunikasi, koordinasi dan kerjasama dari tiga pilar yang ada di daerah: Pemda, Masyarakat dan kelompok peduli (LSM, swasta, perguruan tinggi, ulama/tokoh masyarakat, dan pers). Permasalahan kemiskinan hanya dapat ditanggulangi jika tiga komponen di atas saling kerjasama dalam semangat kebersamaan, dan berpartisipasi mencari alternatif pemecahan masalah.

Peran pemda dalam membangun daerah menjadi titik sentral dan menjadi sangat besar, karena daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur otonominya sendiri agar mampu mandiri. Ini merupakan perubahan besar dalam sejarah tata pemerintahan. Perubahan yang sangat signifikan terjadi pada saat diberlakukannya UU No. 22/tahun 1999, tentang pemerintahan daerah (Otonomi Daerah), yang menimbulkan berbagai perbedaan persepsi tentang kebijakan pembangunan dan pola penanggulangan kemiskinan. Sejalan dengan perkembangan pelaksanaan otonomi daerah dan derasnya arus pemikiran baru yang berkembang dalam jargon-jargon reformasi telah membawa paradigma baru dalam penyelenggaraan pembangunan daerah.

Paradigma baru dalam pembangunan daerah pada prinsipnya mengandung tiga spirit. Pertama, spirit otonomi daerah, yang mendorong tumbuh dan berkembangnya prakarsa lokal.

Kedua, spirit good governance yang mendorong terciptanya tata pemerintahan yang baik. Dan,

ketiga, prinsip people empowerment, yang memberikan power kepada masyarakat melalui proses pemampuan, pemberian tanggung jawab yang jelas dan pelibatan secara proporsional dalam pengelolaan pembangunan.

  1. Upaya Penanganan Masalah

Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses dimana masyarakat -khususnya mereka yang kurang memiliki akses kepada sumber daya pembangunan- didorong untuk meningkatkan kemandirian dalam mengembangkan perikehidupan mereka. Pada prinsipnya, masyarakat mengkaji tantangan utama pembangunan mereka lalu mengajukan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mengatasi masalah ini. Aktivitas ini kemudian menjadi basis program lokal, regional dan bahkan nasional. Target utama pendekatan ini adalah kelompok yang termarjinalkan dalam masyarakat. Namun demikian, hal ini tidak berarti menafikan partisipasi dari kelompok-kelompok lain.

Pemberdayaan dalam arti yang sebenarnya tidak sebatas memberikan input materi atau bantuan dana namun memberikan kesempatan dan kemampuan kepada masyarakat secara luas untuk mengakses sumberdaya dan mendayagunakannya untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Dalam konteks ini, pemberdayaan masyarakat harus dilakukan melalui tiga aspek pokok, yakni:

1. menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (enabling).

2. memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering) melalui pemberian input berupa bantuan dana, pembangunan prasarana dan sarana, baik fisik (jalan, irigasi, listrik) maupun sosial (sekolah, kesehatan), serta pengembangan lembaga pendanaan, penelitian dan pemasaran di Daerah, dan pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya.

3. memberdayakan mengandung pula arti melindungi masyarakat melalui pemihakan kepada masyarakat yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang oleh karena kekurangberdayaan menghadapi yang kuat, dan bukan berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi.

Untuk itu, upaya penanggulangan kemiskinan dan pengangguran adalah dengan melakukan distribusi pendapatan melalui pencipataan lapangan kerja berupah memadai bagi kelompok-kelompok masyarakat yang miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar